create your own banner at mybannermaker.com!

Kamis, 29 September 2011

Sejarah Kota Waringin Timur

KOTIM _ SAMPIT
PDF Cetak Surel
            Sampit sebagai Ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah satu
kota terpenting di Provinsi kalimantan Tengah. Di samping karena secara ekonomis
merupakan daerah kabupaten yang relatif maju juga karena terletak di posisi yang strategis.
Dilihat dari peta regional Kalimantan Tengah, kota Sampit sebelumnya terletak
di tengah-tengah dan ini menyebabkan posisinya sangat strategis.
Misalnya, warga dari Buntok mau ke Pulau Jawa, maka akan lebih dekat jika melewati
Kota Sampit daripada harus ke Kota Banjarmasin. Begitu pun kalau dari Palangkaraya,
Kuala Pembuang, maupun Kasongan. Jadi,
posisi strategis tersebut akan meningkatkan keunggulan komparatif pelabuhan laut
Sampit yang dimiliki daerah ini, terutama akan menarik perekonomian dari kabupaten
yang ada di sekitar wilayah Kotawaringin Timur.
Kota Sampit terletak di tepi Sungai Mentaya. Dalam Bahasa Dayak Ot Danum,
Sungai Mentaya itu disebut batang danum kupang bulan.

Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat dilayari perahu bermotor,
walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari.
             Hal ini disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan
alur sungai yang tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan
kayu. Hingga kini, yang masih menjadi pertanyaan banyak orang adalah asal kata  
Sampit itu sendiri.Menurut beberapa sumber, kata Sampit berasal dari bahasa Cina
yang berarti “31” (sam=3, it=1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang
ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Cina
yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan.
Hasil usaha-usaha perdagangan perkebunan ketika itu adalah rotan, karet, dan gambir.
Salah satu areal perkebunan karet yang cukup besar saat itu yakni areal di belakang
Golden dan Kodim saat ini.
          Pada 1795-1802 terjadi peperangan sengit antara Belanda melawan Inggris.
Hal ini mengakibatkan terjadi pemindahan pemukiman warga Samit ke pedalaman,
tepatnya ke Kota Besi. Pemindahan itu tak terlepas dari adanya gangguan para bajak
laut terhadap desa-desa di muara Sungai Mentaya. Pada 1836, eskader Belanda
akhirnya dapat menghancurkan gerombolan bajak laut pimpinan Koewardt yang
berkekuatan 25 perahu di sekitar.
Teluk Kumai dan Tanjung Puting. Tokoh bajak laut Koewardt akhirnya tewas dan
dikuburkan di sekitar Ujung Pandaran. Hingga kini, Kuburannya itu dianggap keramat
oleh masyarakat setempat.
            Setelah merasa aman, pada 1836, penduduk kumudian pindah ke Seranau
yang dulunya bernama.Benua Usang (sekarang: Mentaya Seberang) di mana para
pedagang-pedagang Cina waktu itu juga mulai berdatangan dan menetap di sana.
Namun, sesuai kepercayaan masyarakat
Cina, bahwa suatu kota harus dibangun menghadap matahari terbit. Sedangkan Seranau
menghadap matahari terbenam,yang menurut perhitungan hongsui Cina dianggap kurang
baik. Karena itulah, mereka membangun pemukiman baru diseberang Seranau
(Sampit sekarang) yang menghadap matahari terbit.
          Versi lain, menurut legenda rakyat setempat yang masih hidup kini, bahwa Sampit
pada masa itu berbentuk sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Sampit dan diperintah
oleh Raja Bungsu. Sang baginda memiliki dua putra masing-masing Lumuh Sampit (laki-laki)
dan Lumuh Langgana (perempuan). Diceritakan, kerajaan Sungai Sampit akhirnya musnah
akibat perebutan kekuasaan antara saudara kandung tersebut.
            Lokasi kerajaan Sungai Sampit ini diperkirakan sekitar perusahaan PT Indo Belambit
sekarang (Desa Bagendang Hilir).Beberapa tahun lampau,tiang bendera kapal bekas kerajaan
yang terbuat dari kayu ulin besar masih ada dan terkubur lumpur di bawah dermaga
PT Indo Belambit tersebut. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan ini,
bahwa di lokasi tersebut pernah pula ditemukan pecahan keramik takala dilakukan
penggalian alur parit. Bukti ini kian menguatkan dugaan bahwa di lokasi ini pernah
ada Kerajaan Sungai Sampit yang pada masa itu sudah mengadakan kontak dagang
dengan bangsa-bangsa luar seperti dari Cina , India bahkan Portugis.
             Diperkirakan, Kerajaan sungai Sampit berdiri pada masa kekuasaan Dunasti Ming
di Cina (abad ke-13).Hal ini dapat dicermati dari ramainya lalu lintas perdagangan
dari Cina yang demikian maju sampai kemudian runtuhnya Dinasti Ming dan mereka
banyak yang lari kearah selatan (Kalimantan). Diceritakan pula, bahwa Putti Junjung Buih,
istri dari Pangeran Suryanata,
pernah pula berkunjung ke kerajaan sungai Sampit. Seperti diketahui,Pangeran Suryanata
(berkuasa antara 1400-1435) adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit pada masa
pemerintahan Prabu Wirakarrama Wardhana sekitar 1389-1435.
Bila ditelisik lebih jauh, Kerajaan Sungai Sampit ini usianya lebih tua dari Negara Dipa
(abad ke-14),sehingga di buku Negarakertagama Kerajaan Banjar tidak tertulis.
Terbukti pula, kala Putri junjung Buih hendak dikawinkan dengan Pangeran suryanata,
40 kerajaan besar dan kecil pada waktu itu bermufakat untuk menyerang Negara Dipa.
Namun, mereka dapat ditaklukkan dan sejak itulah kerajaan-kerajaan itu menjadi vazal
Kerajaan Banjar. Bukti-bukti ini dapat ditelusuri pada Traktat Karang Intan di mana
Sampit sebagai salah satu wilayah yang diserahkan kepada VOC.
Kota Sampit juga pernah disebut-sebut di dalam buku kuno Negarakertagama.
Pada masa itu disebutkan, terutama pada masa keemasan Kerajaan majapahit,
yang diperintah oleh Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang tersohor yaitu
Gajah mada.
        Di salah satu bagian buku yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 itu disebutkan,
bahwa pernah dilakukan ekspedisi perjalanan nusantara di mana salah satu tempat yang
mereka singgahi adalah Sampit dan Kuala Pembuang.

B. Perkembangan Islam di Kotawaringin Timur

                Pada abad ke-15, merupakan abad bercirikan penyebaran agama Islam.
Walaupun kerajaan-kerajaan kecil Islam telah berdiri di pantai timur laut Sumatra
sebelum tahun 1300, dan baru akhir abad ke-14 Raja Kutai menjadi pemeluk Islam
pertama di Kalimantan. Demikian pula Islam di Sabah pada 1405 dan Brunei pada 1410,
Malaka pada 1440, yang ketika itu ramai dikunjungi kapal-kapal dari Cina.
Islam kemudian menyebar di pulau Jawa yang pada akhirnya menyebabkan jatunya
Kerajaan Majapahit ke tangan Kesultanan Islam Demak pada permulaan abad ke 16,
sementara itu, hubungan perdagangan berlangsung terus, dan pengaruh-pengaruh Jawa
Hindu tampak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kotawaringin, Kalimantan Tengah
dan Sambas,
       Kalimantan Barat. Namun, di sisi lain, pengaruh Islam yang meningkat di Brunei
menjadi suatu pusat baru penyebaran Islam, seluruh penduduk pantai akhirnya memeluk
Islam. Di bawah Sultan Bolkiah dari Brunei, Islam pun menyebar ke Filipina,
yang merupakan batas tumur pengaruh Islam.
           Pada awal abad ke-16 itu pula, Islam akhirnya menyebar ke Kalimantan.
Semenjak itu pula, kerajaan-kerajaan Islam baru berdiri di Banjarmasin dan Pasir.
Abad ke-16 ini merupakan zaman keemasan bagi Banjarmasin yang menguasai
pantai-pantai Kalimantan sampai sejauh Sambas dan Sukasada di Barat,
Kutai dan Berau di Timur. Brunei juga berkembang dan menguasai Pantai Utara,
Sulu dan sebagian Palawan.
         Sementara itu, masuknya agama Islam ke Kotawaringin Timur tak bisa
dilepaskan dari pengaruh Kerajaan Banjarmasin. Seperti diketahui,
Kerajaan Sungai Sampit adalah vazal dari Kerajaan banjarmasin
(lihat Traktat Karang Intan pada 1 Januari 1817). Bahkan, pada 1844,
diketahui cukup banyak penduduk Kotawaringin Timur yang sudah
memeluk agam Islam. Mereka bermukin di Sungai Mentaya seperti Tanah Hambau,
Tangar, Kawan Batu, Pahirangan, Sumin, Balirik, Tangkaroba, Tambah, Pamintangan,
dan Tumbang Kuayan (Masdipura; 2003).
Sebetulnya, ada beberapa bukti lain yang mengindikasikan bahwa jauh sebelum itu
sudah ada yang memeluk agam Islam di Kotawaringi Timur. Di antaranya adalah sejumlah
kuburan tua, misalnya di Mentaya Seberang yang diperkirakan telah berumur ratusan tahun.
Di daerah ini ada tiga buah kuburan, yang jika dilihat dari pola
dan bentuk batu nisannya sudah beragama Islam.
Salah satunya adalah kuburan Datuk Nabe/Ngabei (Jaya Kusuma).
Diceritakan, yang dikuburkan tersebut adalah pendatang dari tanah Jawa dan dikuburkan
di Mentaya Seberang (dulu: Seranau). Dulunya, tempat kuburan bagi masyarakat
Kotawaringin Timur, khususnya Sampit adalah di Seranau. Jadi,
bila mereka meninggal dunia akan dikuburkan di Sampit Seberang (Seranau).
   Kuburan tua lainnya ditemukan di Sungai Lenggana di mana pada batu nisannya
tertulis H.Abdurrahman bin H.Abdulah Bugis , lahir 11 Muharram 1103 Hijriah atau
26 Juni 1691 Masehi dan Syech Basiri bin Sayidullah wafat 1500 Masehi,
sementara data lahir tidak tertulis. Ada pula Kuburan tua di Kota Besi dan di ketapang.
Kuburan-kuburan tua itu menjadi salah satu petunjuk tentang masuknya agama Islam
di wilayah Kotawaringin Timur.
      Ketika Kerajaan Banjarmasin diperintah Sultan Suriansyah Putra Arja Jaya (1580-1620),
sang baginda diketahui sudah memeluk Islam.Sejak itu pula  ,  Sultan Suriansyah
memerintahkan seluruh rakyatnya untuk segera memeluk Islam. Sementara mereka yang
tidak bersedia  mematuhi perintah Sultan kemudian menyingkir ke kaki Bukti Meratus yang
kini disebut Orang Bukit .
Berikutnya,
          Sultan Suriansyah berkeinginan memasukkan agama Islam ke Kalimantan Tengah,
termasuk Kotawaringin Timur, yang merupakan vazal Kerajaan Banjarmasin.
Akan tetapi, ibunda Sultan mengingatkan, bahwa para ketua suku di pedalaman itu masih
ada kaitan keluarga dekat, sehingga penyebaran Islam dikhawatirkan malah akan
memunculkan kekerasan dan perang saudara.
Dalam beberapa kasus, penyebaran agama Islam di kalimantan Tengah,
tanpa terkecuali di Kotawaringin Timur, memang sempat menimbulkan ketegangan.
Seperti misalnya yang dialami Sultan Mustaim Billah (1656-1678),
yang terpaksa berperang melawan mertuanya sendiri Patih Rumbih.
Peperangan itu berlangsung di pulau Mintin karena Sultan memaksa istrinya masuk islam.
Seperti di pulau Jawa, di mana para Walisongo menyebarkan agama Islam lewat
media wayang kulit, begitu juga awalnya di pulau Kalimantan.
Kesenian Wayang Banjar dibawa langsung dari Jawa Timur
oleh Datu Purbaya semasa Sultan Talillullah (1679-1700)
di Banjarmasin dengan gelar Ngabei Surapati Mangkubumi.
Hal ini sesuai dengan jantaran berbunyi : Landak sirna narinting tanah mengandung 
sangkala memet. Ini kemudian disempurnakan dalam wanda keseluruhan melalui
Datu Kartasura oleh Mantri Kedaton Kyai Masdipura (1824-1919).
Sejak itulah, secara berangsur-angsur agama Islam disebarkan ke daerah-daerah
di Kotawaringin Timur. Sebagai bukti, hingga kini masih dikenal adanya kesenian  
Wayang Banjar,
Mamanda serta Kirik, yang masih tumbuh subur di Kotawaringin Timur dan lazim
dikenal masyarakat sebagai seni pesisir.
C. Zaman Pendudukan Hindia Belanda
      Eksistensi Kabupaten Kotawaringin Timur secara Historis tidak terlepas dari pemerintah
Majapahit dan masuknya agama Islam yang berkembang mulai tahun 1620. Pada waktu itu,
daerah-daerah pantai Kalimantan Tengah bagian selatan dikuasai Kerajaan Demak.
Pada Tahun 1679, Kerajaan Banjarmasin mendirikan Kerajaan kotawaringin yang berlokasi
di Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat,
meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah termasuk Sampit,
Mendawai dan Kuala Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lainnya tetap berada
di bawah pimpinan kepala suku yang kemudian menarik diri ke daerah pedalaman.
Belanda muncul di Kalimantan pada 1598, dan kekuasaan kolonial mulai menancapkan
kukunya pada abad ke-17 ketika Inggris dan belanda berusaha untuk memperoleh pijakan
dalam perdagangan. Setelah perjanjian dagang yang tak bertahan lama dengan Banjarmasin,
maka Belanda akhirnya menguasai kota itu pada 1747. Di utara,
kompeni Inggris The British East India Company memperoleh suatu wilayah di Sabah
dari Sultan Brunei pada 1784.
      Sementara itu, sejak ditandatanganinya perjanjian VOC dan Sultan banjar (1787),
maka daerah Kotawaringin Timur dikuasai pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada tahun 1917, Belanda mengangkat petugas pemerintahannya dari penduduk pribumi
di bawah pengawasan pejabat Hindia Belanda. Kotawaringin Timur pada masa
itu merupakan suatu wilayah pemerintahan Onder Afdelling Sampit,
yakni setingkat kewedanaan dengan kepala pemerintahnya yakni Kontrolir
atau controleur (Asyari;4-6).
       Secara fisik, kondisi geografis Kotawaringin tidak begitu banyak berubah.
Sebelah utara berbatasan dengan Kalimantan Barat (Onder Afdelling Sintang),
sebelah timur dengan Sungai Kahayan (termasuk Onder Afdelling Beneden Dayak),
sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan sebelah barat dengan
Kotawaringin Barat (Onder Afdelling Kotawaringin).
  Awalnya, Kotawaringin Timur memiliki luas wilayah sekitar 50.700 kilometer persegi,
sama dengan luas sebelum era kemerdekaan. Daerah Kotawaringin Timur
dilintasi tiga sungai penting yakni Sungai Mentaya, Seruyan dan Katingan yang mengalir
menuju ke Laut Jawa. Namun, pasca pemekaran wilayah pada 2002,
Kotawaringin Timur dipecah menjadi dua kabupaten baru yakni Kabupaten Seruyan
dan Katingan. Akibatnya, Kotawaringin Timur Cuma memiliki Sungai Mentaya yang
membelah Kota Sampit, sementara Sungai Seruyan dan Katingan termasuk dalam
wilayah pemekaran kabupaten baru tersebut. Sejak itu pula, luas Kotawaringin Timur
menyusut hanya tinggal sekitar 17.000 kilometer persegi (Eksekutif ; 2003).
      Onder Afdelling Sampit lebih dipusatkan pada kegiatan perdagangan dan industri.
Ini bias ditelusuri dari adanya bukti peninggalan sejarah yakni kawasan Pelabuhan Sampit
dan PT. Inhutani III yang dulu dikenal dengan nama N.V. Bruinzell serta perusahaan
Remiling yang bergerak dibidang pertanian.
D. Zaman Pendudukan Fasisme Jepang

     Pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), Pemerintah Onder Afdelling Sampit
dikepalai oleh Bunken Kanrikan dan Gunco dalam kekuasaan pemerintah Angkatan Laut
Jepang  ,    Borneo Minseibu, yang berpusat di Banjarmasin
(sekarang Ibu Kota Kalimantan Selatan) . Dalam perang Asia Timur Raya,
Jepang menderita kekalahan dari tentara sekutu.
       Kesempatan baik itu dimanfaatkan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia
untuk memproklamirkan kemerdekaannya pada Jum’at pagi, 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Lantaran keterbatasan sarana komunikasi, berita kemerdekaan tersebut baru terdengar
di Sampit dan wilayah Kalimantan lainnya, khususnya setelah kedatangan A.A.
Hamidan dan A.A. Rivai di Banjarmasin, pada 24 Agustus 1945.
Berita gembira itu kemudian disiarkan serta disebarluaskan melalui Radio Borneo Simbun
di Banjarmasin dan Kandangan. Selain berita proklamasi, juga disiarkan pengangkatan
Ir. Pangeran Muhammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan.
Sementara itu, di wilayah Samuda, pada 1 September 1945,
pemerintah telah diambil alih oleh Panitia Aksi Kemerdekaan.
Selanjutnya, dalam keadaan darurat dibentuklah Pemerintahan RI Wilayah Samuda
dipimpin oleh Mohamad Baidawi Udan dengan wakilnya Ali Badrun Maslan.
Peresmiannya sendiri dilakukan pada tanggal 8 Oktober 1945,
dalam suatu upacara rapat umum disertai pengibaran bendera merah putih serta
diiringi lagu Indonesia Raya dipimpin oleh Darham Ibul bertempat di muka pasar setempat.
Sejak 9 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia wilayah Samuda mulai bekerja.
Mereka menempati sebuah kantor sederhana yaitu sebuah rumah yang diserahkan
oleh penduduk setempat. Rumah yang dijadikan kantor Pemerintah republik Indonesia
wilayah samuda itu terletak di Basirih Hilir, tak jauh dari sungai Jajangkit,Samuda.
Lain halnya di sampit, pemerintah Jepang masih bertahan hingga awal September 1945,
sampai kemudian datang utusan pemerintahan Jepang dari Banjarmasin.
Penyerahan secara resmi baru dilakukan dalam sebuah upacara di Lapangan Tugu,
Sampit. Acara tersebut diikuti seluruh komponen masyarakat Kota Sampit seperti
para Pegawai Negeri, Guru, Kepala Kampung, Tokoh Masyarakat, serta murid-murid
sekolah.
      Bertindak mewakili pemerintah Jepang adalah Bunken Kanrikan Nomura Akira,
yang menyerahkan pemerintahan Jepang kepada pemerintah RI wilayah Sampit.
Saat itu, dilaksanakan upacara penurunan bendera Jepang dan dikibarkan bendera
merah putih.Awalnya pemerintahan Sampit sempat pula dikuasai pemerintahan
Belanda/NICA.
Namun,kondisi itu tak berlangsung lama. Melalui pergerakan bersenjata dalam pertempuran
heroik yang dikenak dengan nama “Gerakan Operasi Subuh”,
yang dipimpin secara gabungan oleh Pemuda Indonesia Merdeka Sampit yakni
Hasyim Djapar dari PIM/BPRI Sampit, Muhammad Baidawi Udan, Ali Badrun Maslan,
TKR Samuda Usman H. Asan dan Majekur Maslan serta BPRI
rombongan sembilan anak buah Bung Tomo, wilayah Sampit kembali direbut dari tangan
musuh pada 29 Nopember 1945, tepatnya pada subuh pukul 04.00.
Setelah pengambilan kekuasaan pemerintah berhasil,
maka pada tanggal 29 November 1945 pukul 07.00 pagi,
                 Pemerintahan Republik Indonesia wilayah Sampit diresmikan dalam
suatu upacara pengibaran bendera merah putih. Acara dihalaman kantor setempat itu
berlangsung hikmad dan diiring lagu kebangsaan Indonesia Raya. Berikutnya,
dilakukan rapat pembentukan susunan pemerintahan yang dipimpin oleh Hasyim Djapar
dan akhirnya terpilih Abdul Hamid Hasan sebagai Kepala Pemerintahan Setembat (KPS).
E. Masa Pendudukan NICA
           Tentara Belanda/NICA yang membonceng pasukan sekutu memang terkenal licik.
Pada 7 – 8 Januari 1946, Pasukan NICA berhasil menduduki Pemerintah RI wilayah Sampit
dan Samuda di saat BPKR berangkat ke Banjarmasin memenuhi permintaan untuk
membantu mengusir tentara NICA.
     Namun keadaan demikian tidak membuat semangat juang rakyat di wilayah Sampit
maupun   Samuda menjadi kendur. Rakyat setempat dengan senjata ala kadarnya terus
berjuang mempertahankan kemerdekaan RI yang baru saja diproklamirkan oleh
Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia di Jakarta. Perlawanan sporadic oleh
para pejuang kemerdekaan terjadi di beberapa daerah dan dilakukan secara bergerilya.
    Sementara itu, pada 17 Oktober 1947, satu tim pasukan terjun paying (14 orang)
diberangkatkan dengan pesawat C-47 Dakota RI-002 dari Lapangan Udara Maguwo,
Yogyakarta. Pesawat itu membawa pemuda-pemuda berasal dari Kalimantan di bawah
pimpinan Mayor Udara Tjilik Riwut dan Amir Hamzah sebagai jumping masters.
Ke-14 orang itu adalah :
No Nama Asal
1 Iskandar Sampit
2 J. Bitak
Kelapa Baru Kahayan
3 G. Willeme
Kapuas
4 J. Darius
Kasongan
5 A. Kosasih
Mangkaluhi Barito
6 Bachri
Mapulang Barabai
7 Ali Akbar
Balikpapan
8 M. Amiruddin
Kahayan Hulu
9 Emanuel
Kahayan Hulu
10 Marawi
Rantau Pulut
11 Jam’an
tak diketahui
12 Suyoto
Ponorogo
13 H. Hadi Sumantri
Semarang
14 Muh. Dahlan
Sampit

         Komandan pasukan Tjilik Riwut menunjuk selaku Komandan Pasukan Penerjun ini
yaitu Letnan Muda Iskandar dan bilamana gugur digantikan M. Dachlan, kemudian J.Bitak.
Sekitar pukul 07.00, mereka kemudian diterjunkan dibelantara Kalimantan, tepatnya di atas
Kampung Sambi, terletak diantara Sungai Arut dan Seruyan serta tak jauh dari daerah
Rantau Pulut. Penambahan pasukan ini dimaksudkan untuk memperkuat BPKR
Sampit dalam menumpas
ratusan pasukan KNIL/KL.Pertempuran sengit tak terelakkan. Dalam pertempuran tersebut,
gugur tiga orang pasukan paying, yakni Kapten Udara Hari Aryadi Sumantri,
Letnan Muda Iskandar dan Sersan Kosasih . Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
ketiga pahlawan tersebut oleh Pemerintah Daerah Sampit
telah ditanam “Pohon Beringin Iskandar” di depan Kantor Pemerintah Kabupaten Sampit
serta pemberian nama Jalan Iskandar dan Jalan Kosasi di Pusat Kota Sampit.

Pesawat yang membawa para Pejuang RI
dalam revolusi fisik (1945-1950) di Bandara Maguwo, Jogjakarta.

           Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah RI di Sampit sempat dikuasai tentara
Belanda yang memboncengi NICA. Sebagai follow up dari pertempuran 15 Juli 1946
di Malino,yang kemudian menjadi dasar-dasar pembentukan Negara Indonesia Serikat(NIS),
dimana pimpinan NICA saat itu dikendalikan Luittenant Gouvernuer General (LGG)
Dr. H.J. Van Mook. Pembentukan NIS tersebut tak lain merupakan strategi kolonial Belanda
di bawah kamu flase NICA yang sebenarnya berkeinginan kembali menancapkan kukunya
di bumi pertiwi. Itulah sebabnya, niat busuk yang sudah tercium para pejuang republik
tersebut mendapat tantangan keras yang diwujudkan dengan penolakan dan perlawanan
bersenjata terhadap Belanda.
     Menyadari kenyataan itu, Belanda yang dikenal licik dengan politik de vide et impera-nya
kemudian mencari siasat lain untuk menguasai wilayah Indonesia. Maka,
dipilihlah cara lewat pembentukan “negara-negara boneka”.
Langkah pertama adalam mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) melalui
Konferensi Denpasar pada 7-24 Desember 1947. NIT merupakan negara bagian pertama
dari Negara Indonesia Serikat yang direncanakan. Sesudah itu lahirlah Negara Sumatera Timur
(1947), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Jawa Timur (1948),
Negara Madura (1948), dan satuan-satuan negara kecil lainnya.
Di Kalimantan sendiri Belanda juga merencanakan untuk membentuk Negara Kalimantan.
Untuk mewujudkan rencana tersebut, Belanda membentuk daerah-daerah otonom
yang berdiri sendiri dan kemudiannya menggabungkannya kedalam bentuk federasi.
Di Pulau Kalimantan kala itu terdapat lima pemerintahan federasi yaitu Kalimantan Barat,
Kalimantan Tenggara, Dayak Besar, Banjar, dan Kalimantan Timur.
      Daerah Kotawaringin yang pada masa itu berkedudukan di Pangkalan Bun masih menjadi
daerah pendudukan tentara Belanda. Pada 14 januari 1946, daerah Kotawaringin Barat rencananya
juga akan dimasukkan ke dalam daerah Bagian dayak Besar menjadi sebuah negara bagian.
Ini merupakan salah satu politik kotor pemerintah Belanda saat itu dimana tujuannya untuk
memecah belah daerah sehingga mudah dikuasai kembali.
Namun, dewan Kotawaringin tetap bersikeras memperjuangkan Kotawaringin untuk lepas
dari pemerintahan Belanda dan hanya tunduk kepada pemerintahan RI yang sah.
Hal ini dibuktikan dari adanya perlawanan sporadic di sejumlah daerah yang memang
tidak mau lagi berada di bawah lingkungan kolonial Belanda.
F. Menjadi Kabupaten Sendiri


      Hingga akhir 1949, Gubernur Kalimantan, Dr. Murdjani datang ke daerah Kotawaringin
di dampingi Mayor Tjilik Riwut dan lain-lain. Akhirnya, pada 1 Mei 1950,
wilayah Kotawaringin telah diterima ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sebagai daerah Swapraja Kotawaringin. Selanjutnya, pada 16 April 1950,
beberapa pemuka Daerah Istimewa Swapraja Kotawaringin mengadakan rapat umum
dan mengeluarkan mosi bahwa daerah istimewa tersebut masih tertekan. Karenanya,
mereka meminta kepada Gubernur Kalimantan untuk menghapuskan Swapraja Kotawaringin
dan mengubahnya menjadi daerah biasa supaya sama majunya dengan daerah Sampit.
Merespon tuntutan itu, pada 3 Agustus 1950, Gubernur Kalimantan mengeluarkan
Surat Keputusan Nomor 154/OPB/92/04 yang menyatakan bahwa Daerah Kotawaringin
(Onder Afdelling Kotawaringin) disatukan dengan tiga kewedanan
(Sampit Barat, Sampit Timur dan Sampit Utara)
ke dalam wilayah Pemerintah daerah Otonom Kotawaringin dengan ibukotanya di Sampit.
Banyaknya desakan masyarakat dan mosi yang disampaikan ke Pemerintah RI sementara
yang berkedudukan di Yogyakarta, maka diseluruh Daerah Provinsi Kalimantan Tengah
telah disiapkan daerah-daerah otonom kabupaten dan daerah-daerah otonom setingkat
dengan kabupaten.
   Beberapa wilayah yang merupakan bentukan sementara menurut Keputusan Gubernur
Kalimantan pada 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14 adalah mencakup Bandjar,
Hulu Sungai Selatan, Kotawaringin, Barito, Kotabaru dan Kutai. Dalam perkembangan
berikutnya, agar mempunyai hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,
maka dikeluarkan pula
      Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tanggal 7 Januari 1953 tentang pembentukan
(resmi) daerah otonom kabupaten/daerah istimewa tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam
lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan, Yakni Kabupaten Bandjar, Hulu Sungai Selatan,
Hulu Sungai Utara,
Barito, Kapuas, Kotawaringin (meliputi kewedanan-kewedanan Sampit Barat,
Sampit Timur dan Sampit Utara dan Swapraja Kotawaringin), Kabupaten Kotabaru
Besar Bandjarmasin, Kabupaten sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang dan
Kapuas Hulu, Daerah Istimewa Kutai, Daerah Intimewa Berau dan Bulongan.
Maka, sejak itulah secara resmi Pemerintahan Daerah Otonom Kabupaten Kotawaringin
berkedudukan di Sampit di bawah Kepala Daerah Mayor Angkatan Udara Tjilik Riwut
(1950-1957). Dan, tanggal 7 Januari setiap tahun akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi
kota Sampit.
G. Pemekaran Daerah Otonom
      Keinginan untuk menambah keselarasan dalam menjalankan pemerintahan daerah yang
terinspirasi dari UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan menggantikan
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, maka perlu menambah daerah tingkat II
di Kalimantan dengan jalan membagi beberapa daerah otonom kabupaten lama menjadi
beberapa daerah tingkat II baru dan membentuk kotapraja baru.
Pemerintah Daerah Otonom Kabupaten yang saat itu dipimpin oleh Tjilik Riwut mempunyai
keinginan untuk membagi daerah otonom Kotawaringin menjadi dua wilayah kabupaten dalam
wilayah Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah.
Para tokoh perintis kemerdekaan dan masyarakat Kotawaringin pada saat itu menginginkan
Kota Sampit sebagai Ibu Kota Kalimantan Tengah. Keinginan itu cukup beralasan,
dengan mempertimbangkan bahwa Kota sampit merupakan kota yang cukup tua dan
bersejarah dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI serta merupakan salah satu
kota maju karena berkembangnya industri kayu sejak zaman Belanda. Apalagi,
didukung oleh Pelabuhan Sampit yang merupakan outlet pintu masuk dan
keluar barang-barang dan jasa dari provinsi Kalimantan.
       Namun demikian, keinginan itu harus kalah karena aspirasi masyarakat di banyak
wilayah Kalimantan Tengah justru menginginkan Ibu Kota Kalimantan tengah berada
di Desa Pahandut (saat itu masuk dalam wilayah Kabupaten Kapuas).
Pada 18 Mei 1957, dalam sebuah upacara adapt yang dimotori anggota Gerakan
Mandau Telawang Pancasila (GMTPS), akhirnya Gubernur Milono (gubernur pada
Departemen Dalam Negeri Koordinator Seluruh Kalimantan) menyatakan bahwa
Desa Pahandut dipilih sebagai Kota Palangka Raya,
Ibu Kota Provinsi Kalimantan tengah. Dan peletakan batu pertama pembangunan
Kota Palangka Raya pada 17 Juli 1957 itu dilakukan langsung oleh Presiden RI Ir.Soekarno.
    Sejak itu pula secara resmi Kotawaringin dipisah menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II
Kotawaringin Timur, meliputi Kewedanan Sampit Barat (DAS Seruyan),
Sampit Timur (DAS Mentaya), dan Sampit Utara (DAS Katingan) beribukota di sampit
dan Kotawaringin Barat (Swapraja Kotawaringin meliputi Kewedanan Kotawaringin)
beribukota di Pangkalanbun. Dua Kabupaten ini menjadi bagian wilayah provinsi
Kalimantan Tengah, khususnya setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 27 Thn 1959,
tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan
Daerah Tingkat II di Kalimantan.

H. Era Reformasi
      Era reformasi, yang membahana bersamaan lengser-nya sang patron Orde Baru
Soeharto pada 21 Mei 1998, gaungnya juga sampai ke Kota Sampit. Karena itu,
di era reformasi yang kemudian disusul penerapan otonomi daerah,
aspirasi masyarakat sampit kembali mengemuka. Salah satu aspirasi yang dikumandangkan
adalah upaya pemekaran wilayah dimana sebelumnya tuntutan aspirasi tersebut dimasa Orba
seolah tersumbat.
  Kini, Kota Sampit di bawah kepemimpinan Bupati Wahyudi K. Anwar dan wakil Bupati
Drs. HM. Amrullah Hadi, berupaya maksimal menangkap aspirasi masyarakat yang
berkembang di daerahnya. Tentu saja, semua itu dilakukan agar sejalan dengan tuntutan
otonomi daerah yang selalu mengacu pada tiga factor mendasar yaitu :

(1) Memberdayakan masyarakat,
(2) Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, dan 
(3) meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan meningkatkan 
      peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.

     Itulah sebabnya, untuk memenuhi aspirasi masyarakat guna mempercepat dan
melakukan pemerataan pembangunan, maka Kabupaten Kotawaringin Timur dengan luas
wilayah 50.700 kilometer persegi, dimekarkan menjadi tiga kabupaten.
Ketiga Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Kotawaringin Timur(kabupaten induk
mencakup DAS Mentaya seluas 16.496 kilometer persegi terdiri atas 10 Kecamatan
beribukota di sampit. Kabupaten Seruyan mencakup DAS Seruyan,
luas wilayah 16.404 KM persegi mencakup lima Kecamatan beribuko di Kuala Pembuang
dan Kabupaten Katingan mencakup DAS Katingan dengan luas 17.800 kilometer persegi,
dengan 11 Kecamatan beribukota di Kasongan, Penetapan pemekaran itu
berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2002.

By : Yuli Yanto

Rabu, 28 September 2011

Sejarah Sampit dan Kalimantan Setelah Merdeka

Orang pertama yang membuka daerah kawasan Sampit pertama kali adalah orang yang bernama Sampit yang berasal dari Bati-Bati, Kalimantan Selatan sekitar awal tahun 1800-an. Sebagai bukti sejarah, makam “Datu” Sampit sendiri dapat ditemui di sekitar Basirih. “Datu” Sampit mempunyai dua orang anak yaitu Alm. “Datu” Djungkir dan “Datu” Usup Lamak. Makam keramat “Datu” Djungkir dapat ditemui di daerah pinggir sungai mentaya di Baamang Tengah, Sampit. Sedangkan makam “Datu” Usup Lamak berada di Basirih.

Sedangkan kata Sampit menurut versi buku “Merajut Sampit dalam Persfektif Global” karya Drs. Wahyudi K. Anwar(Bupati Kotawaringin Timur) berasal dari bahasa China atau pun berbagai versi lainnya adalah salah besar. Buku tersebut menurut Drs H. Madjedi Filmansyah, MBA adalah membodohi orang Sampit akan kebenaran Sejarah Sampit yang sebenarnya atau bahasa Banjarnya buku Wahyudi tersebut “mambunguli urang banyak tentang sejarah Sampit”.

Gubernur pertama yang ada di Kalimantan bernama Ir. Pangeran Muhammad Nur (1950)
Yang kedua bernama Dr. Murjani (1953)
Yang ketiga bernama RTA Milono (1956)
Setelah masa jabatan RTA Milono, Kalimantan dimekarkan menjadi 3 propinsi, yaitu :
1. Kalimantan Barat dengan Gubernur RA. Afflus
2. Kalimantan Selatan dengan gubernur Sarkawi
3. Kalimantan Timur
4. Kalimantan Tengah (Masih dalam persiapan) dengan gubernur RTA. Milono yang berkantor di Kalimantan Selatan.

Tjilik Riwut menjadi bupati kotawaringin, yang kantornya berada di kota Sampit.

Untuk mewujudkan Palangkaraya sebagai propinsi terjadi gerakan yang dilaksanakan oleh :
1. Simbar
2. Embang

Dan pada saat itu, Tjilik Riwut masih menjabat sebagai Bupati Kotawaringin di Sampit.
Adapun Simbar, pada saat itu menjabat sebagai WEDANA, sedangkan Embang, sebagai anak buah dari Simbar.
Semua ini adalah merupakan trik-trik politik yang dilakukan oleh seorang untuk mewujudkan ibukota Propinsi Kalimantan Tengah berada di Palangkaraya.

Tahun 1957

Tahun 1957, Tjilik Riwut menjadi Gubernur Palangkaraya. Kemudian 6 bulan setelah itu, Kodam Tambun Bungai didirikan di kota Sampit.
- Yang pertama kali menjabat sebagai Pangdam Tambun Bungai di kota Sampit, adalah Letkol Darmo Sugondo pada tahun 1957
- Yang kedua adalah Letkol Erman Harirustaman pada tahun 1959
- Yang ketiga adalah Kolonel Darsono pada tahun 1960.
- Yang keempat adalah Kolonel Sabirin Muhtar pada tahun 1962.
Dan pada saat itu, hanya ada 1 buah mobil jeep di kota Sampit.

Soekarno datang ke kota Sampit

Soekarno datang ke kota Sampit pada tanggal 9, bulan 9, tahun 1959, jam 9. Dalam pidatonya di kota Sampit, Tjilik Riwut mengatakan bahwa kedatangan Bung Karno ke Kota Sampit adalah merupakan angka keramat. Kemudian, dalam sambutannya di kota Sampit, Bung Karno mengatakan “ Saya datang bukanlah sebagai seorang malaikat, akan tetapi saya datang sebagai seorang hamba ALLAH yang sama seperti kalian yang ada disekitar saya.”

Soekarno sempat menikahi seorang perempuan yang berasal dari Sampit yang bernama Lori Ismail, di Palangkaraya. Setelah Bung Karno datang, pada bulan November, setelah terjadi Gajah Timpang. Arti Gajah Timpang tersebut adalah pemotongan uang seribu rupiah menjadi seratus rupiah. Kemudian pada tahun 1965, kembali terjadi, Gajah Lumpuh dari seribu rupiah menjadi satu rupiah.


Demikianlah cerita singkat dari Drs. H. Madjedi Bin Filmansyah cucu dari Usup Lamak Buyut dari Alm. Sampit, pengusung Propinsi Kotawaringin

Narasumber lainnya yang masih hidup :
Dachri bin Djungkir bin Sampit
Syamsuri bin Kaderi bin Djungkir bin Sampit